sumber:http://portal-pelajardurenan.blogspot.sg/2017/01/pencetus-kalimat-wallahul-muwaffiq-ila.html
Sebelum muncul nama besar Syaikhona Mbah Dimyati Rois sebagai tokoh Kendal ke kancah Nasional, ada satu nama Ulama Besar dari Kendal. Sayang sekali keberadaan beliau seperti tidak begitu dikenal, terutama oleh generasi muda Kendal sendiri.
Beliau adalah Yang Mulia Simbah Kyai Haji Ahmad Abdul Hamid Al Qondaly. Ulama Besar ini merupakan sosok yang sangat enerjik, sangat dihormati oleh sahabat-sahabatnya. Beliau pernah mengemban amanah sebagai Dewan Musytasyar PBNU dan Ketua MUI Jawa Tengah .
Disamping itu, beliau juga terbilang aktif dalam menulis beberapa kitab. Konon sekitar 25 kitab telah beliau hasilkan. Sayang sekali kita kesulitan mendapatkan kitab-kitab karya beliau, bahkan di Kendal sendiri.
Beliaulah penggagas Silaturahim Ngumpulke Balung Pisah, sebuah forum silaturahim untuk mempertemukan berbagai kalangan dalam satu jalinan persaudaraan. Sebab, umumnya orang satu kampung atau satu keguruan ilmu kalau diurutkan bisa ketemu nasabnya. Inilah salah satu kehebatan beliau.
Salah satu wakaf beliau untuk umat ini adalah ucapan penutup pidato wabillahi taufiq wal hidayah. Konon kalimat ini diucapkan beliau pertama kali di Magelang, dan kemudian dicopy paste seluruh ulama di Nusantara hampir tanpa kecuali. Hingga kemudian, ulama diluar NU juga ikut memakai kalimat tersebut.
Akhirnya, pada saat pertemuan ulama-ulama di Kendal, beliau memperkenalkan penutup kalimat baru, yakni: wallahul muwafiq ila aqwamith thoriq..Dan ternyata kalimat ini juga seperti menjadi kalimat yang diamini dan diadopsi oleh seluruh ulama di Nusantara hingga detik ini.
Salah satu wakaf beliau untuk umat ini adalah ucapan penutup pidato wabillahi taufiq wal hidayah. Konon kalimat ini diucapkan beliau pertama kali di Magelang, dan kemudian dicopy paste seluruh ulama di Nusantara hampir tanpa kecuali. Hingga kemudian, ulama diluar NU juga ikut memakai kalimat tersebut.
Akhirnya, pada saat pertemuan ulama-ulama di Kendal, beliau memperkenalkan penutup kalimat baru, yakni: wallahul muwafiq ila aqwamith thoriq..Dan ternyata kalimat ini juga seperti menjadi kalimat yang diamini dan diadopsi oleh seluruh ulama di Nusantara hingga detik ini.
Dan, sekali lagi, sayangnya, banyak kaum muda yang belum mengetahui bahwa kalimat tersebut adalah buah karya wakaf dari Yang Mulia Mbah Ahmad Abdul hamid, salah satu ulama besar dari Kendal.
____________________________
____________________________
Tinjauan Sejarah Sosial-Politik Atas Ungkapan Penutup Pidato
==========================
==========================
Pada mulanya, para sesepuh ulama Nahdlatul Ulama mentradisikan ungkapan “wabillaahit taufiiq wal hidaayah” sebagai penutup pidato. Artinya: (semata-mata) dari Allah-lah pertolongan dan petunjuk. Itu ungkapan kerendah-hatian. Pengakuan dari pembicara bahwa ia mampu berpidato semata-mata karena pertolongan Allah, dan kalaupun hadirin tersentuh oleh pidatonya sehingga menjadi manusia yang lebih baik, itu juga semata-mata karena petunjuk Allah.
Ungkapan itu kemudian menjadi teramat populer. Semua orang menggunakannya. Seolah pidato tak dianggap sempurna tanpa ditutup dengan ungkapan itu. Orang-orang Muhammadiyah dan priyayi-priyayi abangan tak ketinggalan membiasakannya.
Kemudian datanglah masa-masa persaingan sengit antara NU dan Muhammadiyah. Yaitu ketika kaum Wahabi Minang semakin berpengaruh di lingkungan Muhammadiyah, bahkan cenderung mendominasi wacana keagamaan didalamnya. Gagasan-gagasan Wahabi dinisbatkan kepada Muhammadiyah, untuk dihantamkan kepada tradisi-tradisi NU. “Perang wacana” pun berlangsung seru. Masih ditambah lagi dengan persaingan politik sejak NU keluar dari Masyumi.
Maka, muncullah gagasan dari Kiyai Ahmad Abdul Hamid rahimahullah, Kendal, untuk merangkai ungkapan baru yang “lebih khas NU”. Beliau menawarkan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”, yang terjemahannya: “Allah-lah Sang Penolong kepada seteguh-teguh tempuhan”. Formula ungkapan ini memang canggih, gabungan antara unsur-unsur makhroj yang lebih sulit bagi lidah awam (qof dan thoo) dan kandungan sejumlah “titik rawan” yang hanya bisa dipahami oleh orang yang mengerti dasar-dasar nahwu-shorof:
Faa tasydiid pada “Muwaffiq”;
Waawu pendek (tanpa mad) pada “aqwamith”;
Mad (bacaan panjang) pada roo, bukan thoo, dari lafadh “thoriiq”.
Waawu pendek (tanpa mad) pada “aqwamith”;
Mad (bacaan panjang) pada roo, bukan thoo, dari lafadh “thoriiq”.
والله الموفّق الى اقوم الطريق
Formula ini diterima secara luas oleh kiyai-kiyai NU dan segera menjadi ciri khas yang membedakan “pembicara santri NU” dari yang bukan.
Namun, di kemudian hari terjadi dinamika sosial-politik yang signifikan. Kampanye “pribumisasi Islam” yang gencar digaungkan oleh Kiyai Abdurrahman Wahid sejak 1980-an menangguk hasil luar biasa. Kampanye itu menciptakan dorongan kuat bagi kelompok kultural yang semula secara segregatif mengidentifikasikan diri sebagai “golongan abangan” untuk mendekat kepada “kaum santri”. Dan ketika mereka mulai “menggeser afiliasi”, mereka cenderung memilih identitas yang secara kultural lebih dekat, yaitu identitas NU.
Maka datanglah gelombang orang NU baru secara besar-besaran. Hingga 1990-an, yang mapan dalam wacana sosial-politik adalah bahwa warga NU meliputi sekitar 18 % dari populasi Indonesia. Tapi saya memperoleh data hasil survey yang dilakukan oleh sebuah badan rahasia pada 1999 bahwa warga yang peri hidupnya mengadopsi ciri-ciri kultural NU (sholawatan, tahlilan, selamatan, qunut shubuh, taraweh 23 roka’at, dan semacamnya) mencapai tidak kurang dari 63 %. Berdasarkan hasil sesnsus cacah-jiwa tahun itu (l.k. 200 juta), berarti tidak kurang dari 120 juta!
Tidak mengherankan dan tidak perlu prihatin jika pada gilirannya corak ke-NU-an menjadi semakin “awam”.
Keawaman itu tak pelak lagi tampak pula pada cara mereka melafalkan ungkapan penutup pidato. Makin sering kita dengar “pembicara NU” yang kurang hati-hati sehingga yang keluar dari lisan mereka adalah: “Wallaahul Muwaafiq ilaa aqwaamith thooriq”.
والله الموافق الى اقوام الطارق
Kalau diterjemahkan jadinya: “Allah-lah yang cocok kepada kaum-kaumnya orang yang berjalan”.
Ila hadlroti ruhi Yang Mulia Simbah Kyai Ahmad Abdul Hamid Al Qondaly wa zawjatihi wa dzurriyatihi wa furu'ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi syaiun lillahu lana walahum Al fatihah.
Dari dua sumber, artikel Ustazdah. Shuniyya Ruhama di FB-nya dan arikel KH. Yahya Cholil Staquf